Rabu, 27 Oktober 2010

Urgensi Pendidikan Islam

Problem utama yang dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia saat ini adalah berkenaan dua masalah mendasar, yaitu masalah kualitas ( mutu ) pendidikan dan kontribusi lembaga pendidikan Islam bagi pembangunan nasional, khususnya dalam membentuk moralitas bangsa Indonesia. Masalah pertama, yakni mutu pendidikan Islam sampai saat ini harus diakui masih jauh dari harapan. Kualitas capaian pendidikan ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan pendidikan umum. Hal ini bisa kita amati,out put (lulusan) dari lembaga pendidikan Islam (baik sekolah maupun madrasah) kualitasnya di bawah lulusan dari pendidikan umum.
Sedangkan masalah kedua, peran dan kontribusi lembaga pendidikan Islam dalam membentuk moralitas bangsa Indonesia masih mengundang pertanyaan banyak kalangan (terutama para ahli pendidikan). Seberapa besar pengaruh pendidikan agama dalam menanggulangi kemerosotan bangsa ini?. Pada kenyataanya moralitas bangsa telah rusak bahkan telah mencapai titik nadir berada di ambang kehancuran. Tindak kejahatan kriminalitas dengan berbagai bentuknya semakin meningkat,baik dari aspek kuantitas maupun kualitasnya. Kejahatan dan perilaku menyimpang telah melanda diseluruh aspek kehidupan, dan sedikit perilakunya adalah kalangan terpelajar (terdidik).1
Implikasi-implikasi globalisasi mencakup dimensi informasi dan komunikasi, ekonomi, hukum, politik, ilmu pengetahuan, budaya, dan agama. Pada dimensi ilmu pengetahuan, materealisme menggiring ilmu pengetahuan alam pada satu gagasan bahwa materi menempati posisi sentral. Materi dijadikan penjelas awal dan akhir dalam rangkaian panjang argumentasi ilmiah. Ilmu pengetahuan yang bersifat induktif dan bersumber dari pengalaman empirik ini menempati posisi sentral dalam dunia keilmuan, sementara ilmu sosial teologis yang bersifat deduktif dan bersumber dari aksioma-aksioma kewahyuan, kurang menjadi kerangka acuan pemikiran kontlempatif.
Padahal pengembangan ilmu pengetahuan tidak cukup dirumuskan dari kebenaran (justification) ilmu itu sendiri, melainkan harus dilihat bagaimana konteks penemuannya (context ofdiscovery) dengan tata nilai, etika dan moral. Sehingga ilmu dapat memberikan kesejahteraan hidup manusia lahir batin, bukan memberikan ilmu yang kering dan hanya bersifat fisik material belaka. Ilmu pengetahuan tidak boleh dipandang dari sisi praktisnya belaka, atau hanya untuk dapat mendapatkan kemudahan-kemudahan materi duniawi saja, melainkan harus terbuka pada konteksnya, yakni nilai-nilai agama. Ilmu pengetahuan harus menjadi jembatan untuk memahami hakikat ketuhanan. Perspektif keilmuan semacam ini memberikan peluang besar bagi proses islamisasi ilmu di era globalisasi.
Fenomena memprihatinkan yang bisa dicermati tengah melanda masyarakat modern saat ini (termasuk Indonesia) adalah munculnya praktek-pratek perekduksian fungsi pendidikan. Akurasi pendidikan hanya distandarkan pada upaya-upaya penyiapan tenaga kerja (praktisi) yang berorentasi materealistik semata, dengan dalih untuk mendukung industrialisaai modern dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kuantitas besar produk teknologi. Dalam menuju era globalisasi, Zamroni menawarkan gagasanya, bahwa dunia pendidikan harus melakukan reformasi dengan tekanan menciptakan sistim pendidikan yang lebih koperhensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan para peserta peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
Kualitas merupakan kosakata di dalam kehidupan modern. Pendidikan tidak terlepas dari ungkapan berkualitas. Lebih-lebih lagi di dalam dunia yang mengglobal dewasa ini dimana terjadinya persaingan dalam berbagai lapangan kehidupan, istilah kualitas merupakan suatu pengertian sehari-hari. Di mana-mana orang mencari produk yang berkualitas, servis berkualitas, dan pendidikan yang berkualitas. Produk dan servis yang berkualitas mudah dimengerti. Singkatnya produk dan servis tersebut memuaskan selera konsumen. Di dalam kaitan ini kualitas dapat diukur dalam arti memenuhi kreteria-kreteria yang telah ditentukan terlebih dahulu. Kulitas tampaknya adalah sesuatu yang berbentuk. Namun kalau kita berbicara mengenahi kualitas pendidikan, maka sangat sulit diukur apa yang dimaksudnya dengan kualitas. Kualitas pendidikan merupakan suatu yang berbentuk, yang sukar diukur kecuali dengan upaya mengkuantitaskan segala sesuatu. Kualitas pendidikan dapat kita ukur dari berbagai segi. Kualitas pendidikan dapat dilihat dari segi ekonomi, dari segi sosial politis, sosial budaya, dari perspektif pendidikan itu sendiri (educational perspective) dan dari perspektif proses globalisasi.2
Pendidikan merupakan masalah urgen untuk menjadi bahan perbincangan sepanjang masa, karena dalam pendidikan terdapat satu pembentukan pribadi manusia sesuai dengan fungsinya, yaitu menjadi khalifah di muka bumi, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئكَةِ إِنىِّ جَاعِلٌ فِى اْلأَرْضِ خَلِيْفَةً
Terjemahnya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."3
Salah satu tujuan yang jelas dalam pendidikan adalah menolong anak mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, dan oleh karenanya pendidikan menjadi sorotan yang paling penting dan sangat menggantungkan pertumbuhan bagi makhluk yang namanya manusia baik bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan agamanya. Sebagai manusia tentulah sangat bergantung pada sejauh mana ia berpendidikan karena orang yang terdidik dan tidak akan dibedakan dalam setiap perilaku dan kesehariannya. Salah satu asumsi yang jelas bahwa anak didik memandang sekolah sebagai bakal atau batu loncatan yang akan membuka dunia baru bagi pemenuhan hidupnya. Ia akan mencoba suasana baru dan lain sebagainya.
Sedangkan pendidikan agama Islam merupakan bagian intregal dari program pengajaran pada setiap jenjang lembaga pendidikan. Pelaksanaan lembaga pendidikan Islam adalah usaha yang dilakukan oleh guru agama dalam membimbing dan membina anak didik agar dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama.
Dengan kata lain, konsepsi manusia yang sempurna menurut Islam sangat membantu dalam perumusan tujuan pendidikan Islam secara khusus. Konsep islam terhadap manusia adalah makhluk “fitrah” yang dimiliki unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa yang memungkinkan diberi pendidikan. Sebagaimana hadits Nabi yang sering dijadikan legitimasi (acuan) oleh para ahli pendidikan
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَّاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِسَانِهِ
Artinya: “Setiap anak yang dilahirkan (dari kandungan ibunya) terlahir dalam keadaan fitrah (suci belum ada “nuktah” apapun). Maka orang tuanyalah (ayah dan ibunya) yang akan menjadikan (mempengaruhi) anak itu sebagai yahudi nasrani atau majusi” (Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim).4
Dengan bekal inilah maanusia memiliki potensi dasar untuk menerima pendidikan. Sehingga dengan demikian, melalui pendidikan diharapkan mampu menghasilkan manusia yang sempurna, baik dari aspek fisik maupun kejiwaan.
1 Ahmad Arifin, Politik Pendidikan Islam Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan di Tengah Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras Komplek Polri Gowok, t.t.), h. 29-30.
2 H.A.R. Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis (Jakarta: Rineka Cipta), h. 66.
3 Al-Qur’an, 2:30.
4 Imam Jalaludin bin Abi Bakar Assuyuti, Al Jaamiu Sohir, (Beirut-Lebanon: Dar Kotob Al Ilmiyah, 2004), h. 396. juz. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar